Reagan dan Gorbachev: 1980–1989
Pada era 1980-an, ekonomi Kuba kembali mengalami gonjang-ganjing akibat penurunan harga gula dan kegagalan panen pada 1979. Untuk pertama kalinya, pengangguran menjadi masalah serius di Kuba pada masa kepemimpinan Castro, alhasil pemerintah mengirim para pemuda pengangguran ke negara-negara lainnya, terutama Jerman Timur, untuk bekerja di sana. Kuba sangat membutuhkan uang, sehingga pemerintah secara diam-diam menjual lukisan-lukisan dari koleksi-koleksi nasional dan secara ilegal membeli barang-barang elektronik AS melalui Panama. Jumlah orang Kuba yang lari ke Florida terus bertambah, dan mereka dicap "sampah" dan "lumpen" oleh Castro dan para pendukungnya. Dalam suatu kejadian, 10.000 orang Kuba mendatangi Kedutaan Besar Peru untuk meminta suaka, dan akhirnya AS bersedia menerima 3.500 pengungsi. Castro lalu mengumumkan bahwa orang-orang yang ingin pergi dari Kuba dapat mendatangi pelabuhan Mariel. Ratusan perahu datang dari AS, dan kemudian 120.000 orang keluar dari Kuba; pemerintah Castro memanfaatkan keadaan tersebut dengan memasukkan para penjahat, orang sakit jiwa, dan terduga homoseksual ke dalam perahu-perahu yang akan menuju ke Florida. Peristiwa tersebut merusak stabilitas pemerintahan Carter, dan pada 1981 Ronald Reagan terpilih menjadi Presiden AS. Pemerintahan Reagan mengambil pendekatan keras terhadap Castro, dan ia tidak menyembunyikan niatannya untuk melengserkan Castro. Pada akhir 1981, Castro secara terbuka menuduh AS menggunakan senjata biologi untuk memicu wabah demam berdarah di Kuba.
Meskipun Castro membenci junta militer sayap kanan di Argentina, ia mendukung mereka dalam Perang Falkland pada 1982 dan menawarkan bantuan militer kepada Argentina. Castro juga mendukung Gerakan New Jewel yang berhaluan kiri dan merebut kekuasaan di Grenada pada 1979. Castro bersahabat dengan Presiden Grenada Maurice Bishop dan mengirim dokter, guru, dan teknisi untuk membantu proses pembangunan negara tersebut. Pada Oktober 1983, terjadi sebuah kudeta yang dilancarkan oleh seorang Marxis garis keras yang bernama Bernard Coard yang didukung oleh Soviet, dan Bishop kemudian dihukum mati. Castro mengecam pembunuhan tersebut, tetapi ia masih mendukung pemerintahan Grenada. Namun, AS menjadikan kudeta tersebut sebagai dalih untuk menyerang pulau tersebut. Tentara-tentara Kuba tewas dalam konflik ini, dan Castro sendiri mengutuk serangan tersebut dan membandingkan AS dengan Jerman Nazi. Dalam pidato peringatan 30 tahun Revolusi Kuba pada Juli 1983, Castro mengecam pemerintahan Reagan sebagai "kelompok reaksioner dan ekstremis" yang menjalankan "kebijakan luar negeri yang jelas-jelas fasis dan menghasut perang". Castro takut bahwa AS juga akan menyerang Nikaragua, dan ia lalu mengutus Ochoa untuk membekali pasukan Sandinista dengan pelatihan perang gerilya, tetapi hal ini tidak terlalu didukung oleh Uni Soviet.
Pada 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris-Jenderal Partai Komunis Soviet. Sebagai seorang reformis, ia memutuskan untuk meningkatkan kebebasan pers (glasnost) dan desentralisasi ekonomi (perestroika) dalam upaya untuk memperkuat sosialisme. Seperti kritikus-kritikus Marxis lainnya, Castro khawatir bahwa reformasi tersebut akan melemahkan negara sosialis dan memberikan peluang kepada unsur-unsur kapitalis untuk meraih kekuasaan. Gorbachev sendiri menerima tuntutan AS untuk mengurangi dukungan kepada Kuba, sehingga hubungan Kuba dengan Soviet memburuk. Saat Gorbachev mengunjungi Kuba pada April 1989, ia memberitahukan Castro bahwa perestroika akan mengakhiri pemberian subsidi kepada Kuba. Castro mengabaikan seruan untuk melakukan liberalisasi seperti Gorbachev, dan ia malah semakin membungkam para pembangkang di dalam negeri dan terus mengawasi militer. Sejumlah perwira militer senior, termasuk Ochoa dan Tony de la Guardia, diselidiki atas tuduhan korupsi dan keterlibatan dalam kegiatan penyeludupan kokain. Meskipun muncul seruan untuk memberikan kelonggaran, mereka akhirnya diadili dan dihukum mati pada 1989. Atas nasihat medis yang diberikan kepadanya pada Oktober 1985, Castro tidak lagi menghisap cerutu, dan ini menjadi contoh bagi rakyat Kuba yang lainnya. Pada masa ini, Castro juga giat mengutuk permasalahan utang yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga, dan ia menyatakan bahwa negara-negara ini tak akan pernah dapat terlepas dari utang kepada bank-bank dan pemerintahan Dunia Pertama. Pada 1985, Havana menjadi tuan rumah lima konferensi internasional tentang masalah utang dunia.
Pada November 1987, situasi Perang Saudara Angola semakin menarik perhatian Castro, terutama mengingat bahwa kaum Marxis di situ sedang mengalami kekalahan. Presiden Angola José Eduardo dos Santos berhasil memperoleh lebih banyak pasukan dari Kuba, dan Castro belakangan mengakui bahwa ia lebih banyak memusatkan perhatiannya pada Angola daripada negaranya sendiri, karena ia berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kemenangan di Angola akan berujung pada kejatuhan apartheid. Gorbachev menyerukan pengadaan perundingan untuk mengakhiri konflik tersebut, dan pada 1988 diadakanlah sebuah perbincangan antara Uni Soviet, AS, Kuba, dan Afrika Selatan; mereka sepakat agar semua pasukan asing ditarik dari Angola. Castro dibuat murka oleh pendekatan Gorbachev, karena Gorbachev dianggap telah menelantarkan kaum miskin di dunia demi détente dengan Amerika Serikat.
Pada rentang waktu 1989-1991, pemerintahan sosialis di Eropa Timur berjatuhan dan digantikan oleh pemerintahan kapitalis, dan banyak pengamat di Barat yang meyakini hal yang sama akan terjadi di Kuba. Castro semakin terisolasi, sehingga ia memperkuat hubungannya dengan pemerintah sayap kanan Manuel Noriega di Panama (walaupun Castro secara pribadi membenci Noriega), tetapi upaya tersebut tidak lagi bermanfaat setelah AS menyerang Panama pada Desember 1989. Pada Februari 1990, sekutu Castro di Nikaragua, yaitu Presiden Daniel Ortega dan kelompok Sandinista, kalah dalam pemilu melawan Persatuan Oposisi Nasional yang didanai AS. Selain itu, akibat jatuhnya pemerintahan-pemerintahan sosialis, AS meraih suara mayoritas untuk meloloskan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Kuba. Kuba menegaskan bahwa resolusi tersebut adalah perwujudan dari hegemoni AS, dan menolak mengizinkan delegasi penyelidik masuk ke wilayah Kuba.
Kemandekan ekonomi dan politik Dunia Ketiga: 1969–1974
Castro merayakan sepuluh tahun pemerintahannya pada Januari 1969, dan selama perayaan tersebut ia menyampaikan pidato yang memperingatkan rakyat tentang kemungkinan pemberlakukan penjatahan gula, yang menunjukkan bahwa Kuba tengah mengalami kesulitan ekonomi. Pada 1969, banyak tanaman yang rusak berat akibat badai, dan untuk memenuhi kuota ekspornya, pemerintah mengerahkan tentara, memberlakukan sistem tujuh hari kerja seminggu, dan menunda hari-hari libur untuk memperpanjang panen. Saat kuota produksi tahunan tidak terpenuhi, Castro menawarkan pengunduran dirinya dalam sebuah pidato yang disampaikan di muka umum, tetapi massa yang berkumpul meminta agar ia tetap bertahan. Walaupun tengah menghadapi permasalahan ekonomi, banyak program reformasi sosial Castro yang disukai oleh rakyat, termasuk program pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pembangunan jalan, serta kebijakan-kebijakan "demokrasi langsung". Castro juga meminta bantuan dari Soviet, sehingga dari 1970 sampai 1972, para ekonom Soviet membantu merombak ekonomi Kuba dan mendirikan Komisi Kerja Sama Ekonomi, Ilmiah, dan Teknis Kuba-Soviet, sementara Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin sendiri melakukan kunjungan ke Kuba pada 1971. Pada Juli 1972, Kuba bergabung dengan Komekon (Comecon), sebuah organisasi ekonomi negara-negara sosialis, meskipun hal tersebut semakin membatasi ekonomi Kuba pada sektor pertanian.
Pada Mei 1970, awak-awak dua perahu nelayan Kuba diculik oleh kelompok pembangkang Alpha 66 yang berbasis di Florida, dan mereka menuntut agar Kuba membebaskan para militan yang ditahan. Akibat tekanan dari AS, para sandera tersebut dibebaskan, dan Castro menyambut mereka sebagai pahlawan. Pada April 1971, Castro dikutuk oleh dunia internasional karena telah memerintahkan penangkapan penyair pembangkang Heberto Padilla; Padilla pada akhirnya dibebaskan, tetapi pemerintah mendirikan Dewan Kebudayaan Nasional untuk memastikan agar kaum intelektual dan seniman tetap mendukung pemerintahan.
Pada 1971, Castro mengunjungi Chili. Di negara tersebut, Presiden Salvador Allende yang berhaluan Marxis baru saja terpilih menjadi kepala koalisi sayap kiri. Castro mendukung reformasi sosialis Allende, tetapi memperingatkannya perihal keberadaan unsur-unsur sayap kanan dalam militer Chili. Peringatan ini terbukti dua tahun kemudian, karena pada 1973, militer melancarkan kudeta dan mendirikan sebuah junta militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet. Pada 1972, Castro mengunjungi Guinea untuk bertemu dengan Presiden Sékou Touré yang beraliran sosialis, dan ia memujinya sebagai pemimpin Afrika terbesar. Ia kemudian melakukan kunjungan selama tujuh minggu ke negara-negara berhaluan kiri: Aljazair, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Jerman Timur, Cekoslowakia, dan Uni Soviet. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu ingin mendatangi para pekerja pabrik dan pertanian, dan di hadapan umum ia memuji pemerintahan negara yang ia kunjungi; di balik tirai, ia meminta agar negara-negara tersebut membantu gerakan-gerakan revolusioner di wilayah lain, terutama para pejuang Perang Vietnam.
Pada September 1973, ia kembali ke Aljir untuk menghadiri KTT Gerakan Non-Blok (GNB) Keempat. Berbagai anggota GNB mengkritik kehadiran Castro, karena menurut mereka Kuba telah berhaluan ke Pakta Warsawa, sehingga seharusnya tidak ikut konferensi tersebut. Di konferensi tersebut, ia memutus hubungan diplomatik dengan Israel atas dasar hubungan erat negara Yahudi tersebut dengan AS dan rasa perhatian Castro kepada bangsa Palestina. Alhasil Castro memperoleh penghormatan dari dunia Arab, terutama dari pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang menjadi teman dan sekutunya. Saat berlangsungnya Perang Yom Kippur pada Oktober 1973 antara Israel melawan sebuah koalisi Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, Kuba mengirim 4.000 pasukan untuk membantu Suriah. Kemudian, setelah Castro meninggalkan Aljir, ia melakukan kunjungan ke Irak dan Vietnam Utara.
Ekonomi Kuba mengalami pertumbuhan pada 1974 berkat harga gula yang tinggi di pasar dunia dan pinjaman-pinjaman baru dari Argentina, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Sejumlah negara Amerika Latin menyerukan agar Kuba kembali diterima di Organisasi Negara-negara Amerika, dan AS akhirnya menuruti permintaan tersebut pada 1975 sesuai dengan nasihat dari Henry Kissinger. Pemerintah Kuba lalu melakukan restrukturisasi dengan mengikuti model Soviet, dan ia mengklaim bahwa hal ini akan semakin memperkuat demokratisasi dan mengurangi kekuasaan Castro. Ia lalu mengumandangkan secara resmi status Kuba sebagai sebuah negara sosialis. Kongres Nasional Partai Komunis Kuba yang pertama digelar, dan sebuah konstitusi baru yang menghapuskan jabatan Presiden dan Perdana Menteri juga diberlakukan. Namun demikian, Castro masih menjadi tokoh yang dominan di pemerintahan; ia menjadi kepala Dewan Negara dan Dewan Menteri yang baru saja dibentuk, sehingga ia menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Perang gerilya: 1956–1959
Granma karam di daerah rawa bakau di Playa Las Coloradas, yang terletak tidak jauh dari Los Cayuelos, pada 2 Desember 1956. Castro dan rekan-rekannya melarikan diri ke pedalaman menuju kawasan pegunungan Sierra Maestra di Oriente, meskipun selama perjalanannya mereka berulang kali diserang oleh pasukan Batista.[89] Sesampainya di situ, Castro baru sadar bahwa hanya ada 19 orang yang berhasil sampai di tujuan, sisanya dibunuh atau ditangkap.[90] Mereka lalu mendirikan sebuah perkemahan, dan sejauh ini orang-orang yang berhasil selamat meliputi Castro bersaudara, Che Guevara, dan Camilo Cienfuegos.[91] Mereka kemudian mulai melakukan serangan ke pos-pos tentara kecil untuk merampas senjata, dan pada Januari 1957 mereka menyerbu sebuah pos di La Plata; mereka mengobati setiap prajurit yang terluka, tetapi mereka menghukum mati Chicho Osorio, seorang mayoral (mandor perusahaan lahan) yang dibenci oleh para petani setempat.[92] Dengan menghukum mati Osorio, para pemberontak pun mendapatkan kepercayaan dari para penduduk setempat, walaupun Castro dan rekan-rekannya masih dicurigai.[93] Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini turut menguat, sehingga beberapa warga bergabung dengan kelompok pemberontak, tetapi sebagian besar sukarelawan baru berasal dari kawasan perkotaan.[94] Dengan ini jumlah pasukan pemberontak bertambah hingga mencapai 200 orang, dan pada Juli 1957 Castro membagi tentaranya menjadi tiga, masing-masing dipimpin oleh dirinya, saudaranya, dan Guevara.[95] Para anggota MR-26-7 yang beroperasi di kawasan perkotaan melanjutkan perlawanan dan mengirimkan persediaan kepada Castro, dan pada 16 Februari 1957 ia bertemu dengan para anggota senior lainnya untuk membahas taktik; di situ ia bertemu dengan Celia Sánchez, yang kelak akan menjadi teman dekatnya.[96]
Kelompok-kelompok anti-Batista di berbagai wilayah di Kuba melakukan pengeboman dan sabotase; polisi menanggapinya dengan penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.[97] Pada Maret 1957, serangan DRE ke Istana Presiden mengalami kegagalan, dan selama serangan tersebut Antonio mati tertembak.[97] Frank País juga tewas, sehingga Castro menjadi satu-satunya pemimpin MR-26-7 yang tersisa.[98] Meskipun Guevara dan Raúl dikenal akan pandangan Marxis-Leninis mereka, Castro berupaya menyembunyikannya, karena ia menginginkan dukungan dari kelompok-kelompok revolusioner yang tidak terlalu radikal.[99] Pada 1957, ia bertemu dengan para pemimpin Partido Ortodoxo, Raúl Chibás dan Felipe Pazos, dan mereka merumuskan Manifesto Sierra Maestra yang menyerukan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin untuk memberlakukan reformasi agraria, industrialisasi, dan kampanye melek huruf, serta sebuah pemilu yang diikuti oleh beberapa partai.[99] Pers Kuba pada masa itu disensor, sehingga Castro menghubungi media asing untuk menyebarkan pesannya; ia menjadi terkenal setelah diwawancarai oleh Herbert Matthews, seorang jurnalis dari The New York Times.[100] Para wartawan dari CBS dan Paris Match kemudian juga mewawancarainya.[101]
Para gerilyawan Castro meningkatkan serangan-serangan mereka ke pos-pos militer, sehingga pasukan pemerintah terpaksa mundur dari kawasan Sierra Maestra, dan pada musim semi 1958, para pemberontak menguasai sebuah rumah sakit, sekolah-sekolah, tempat percetakan, rumah jagal, pabrik ranjau, dan sebuah pabrik rokok.[102] Pada 1958, Batista semakin menghadapi kemelut akibat kegagalan militernya, dan juga akibat kritik-kritik yang terus mengalir dari dalam dan luar negeri yang terkait dengan tindakan penyensoran, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh rezimnya.[103] Pemerintah AS bahkan menghentikan bantuan persenjataan kepadanya.[103] Kelompok oposisi lalu menyerukan mogok kerja, yang kemudian diiringi oleh serangan dari kelompok MR-26-7. Semenjak 9 April, kelompok tersebut mendapatkan dukungan yang besar di Kuba tengah dan timur, tetapi tidak terlalu didukung di wilayah lainnya.[104]
Batista membalasnya dengan melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Verano. Angkatan darat membombardir wilayah hutan dan pedesaan yang diduga membantu kelompok pemberontak, sementara 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Eulogio Cantillo mengepung kawasan Sierra Maestra dan bergerak ke arah utara menuju kamp-kamp pemberontak.[105] Meskipun jumlah pasukan dan teknologi mereka lebih unggul, angkatan darat Batista sama sekali tidak berpengalaman dalam menghadapi perang gerilya, dan Castro mampu menahan serangan-serangan mereka dengan menggunakan ranjau dan melakukan penyergapan.[105] Banyak prajurit Batista yang membelot ke pihak Castro, dan Castro sendiri didukung oleh penduduk setempat.[106] Pada musim panas, MR-26-7 melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir angkatan darat Batista dari wilayah pegunungan, dan Castro sendiri memimpin barisannya dan melakukan gerakan menjepit yang mengepung pasukan utama Batista di Santiago. Pada bulan November, pasukan Castro menguasai sebagian besar wilayah Oriente dan Las Villas, dan membagi Kuba menjadi dua dengan menutup jalan-jalan besar dan jalur-jalur rel; hal ini sangat merugikan Batista.[107]
AS merasa takut dengan kemungkinan bahwa Castro adalah seorang sosialis, dan mereka menginstruksikan Cantillo untuk melengserkan Batista.[108] Cantillo secara diam-diam menyepakati gencatan senjata dengan Castro dan ia juga menjanjikan bahwa Batista akan diadili sebagai seorang penjahat perang;[108] namun, ada yang memperingatkan Batista terkait dengan hal ini, sehingga ia melarikan diri dengan membawa uang yang jumlahnya melebihi US$300.000.000 pada 31 Desember 1958.[109] Cantillo memasuki Istana Presiden di Havana dan menyatakan hakim Mahkamah Agung Carlos Piedra sebagai Presiden.[110] Castro pun murka dan memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata.[111] Ia juga memerintahkan kepada prajurit anggota darat yang bersimpati dengan revolusi untuk menangkap Cantillo.[112] Saat mengikuti perayaan pelengseran Batista pada 1 Januari 1959, Castro memerintahkan MR-26-7 untuk mencegah penjarahan dan vandalisme.[113] Cienfuegos dan Guevara lalu memimpin pasukan mereka ke Havana pada 2 Januari, sementara Castro memasuki Santiago dan menyampaikan pidato yang menyebut soal perang kemerdekaan.[114] Saat menuju Havana, ia disambut kerumunan di setiap kota, dan ia juga melakukan konferensi pers dan diwawancara.[115]
Perang di luar negeri dan Kepresidenan GNB: 1975–1979
Castro menganggap Afrika sebagai "titik terlemah imperialisme". Setelah diminta oleh Presiden Angola Agostinho Neto, ia mengirim 230 penasihat militer pada November 1975 untuk membantu organisasi Marxis MPLA yang dipimpin oleh Neto dalam Perang Saudara Angola. AS dan Afrika Selatan lalu memperkuat dukungan mereka kepada kelompok perlawanan FLNA dan UNITA, alhasil Castro memerintahkan agar 18.000 tentara diutus ke Angola. Saat Castro mengunjungi Angola, ia bertemu dengan Neto, Sékou Touré, dan Presiden Guinea-Bissau Luís Cabral, dan mereka sepakat untuk mendukung pemerintahan Marxis–Leninis Mozambik melawan RENAMO dalam Perang Saudara Mozambik. Pada bulan Februari, Castro mengunjungi Aljazair dan kemudian Libya. Di Libya, ia menghabiskan waktu selama sepuluh hari dengan Gaddafi dan menyaksikan pendirian sistem pemerintahan Jamahariyah, dan lalu ia menghadiri pertemuan dengan pemerintahan Marxis Yaman Selatan. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Somalia, Tanzania, Mozambik, dan Angola. Di Angola, ia disambut oleh kerumunan sebagai pahlawan, karena Kuba telah membantu mereka melawan Afrika Selatan. Di Afrika, ia juga dianggap sebagai sahabat para pejuang kemerdekaan. Setelah mengunjungi negara-negara tersebut, ia mendatangi Berlin dan Moskwa.
Seringkali muncul perbincangan tentang hak asasi manusia, tetapi perbincangan tentang hak kemanusiaan juga perlu dibahas. Kenapa beberapa orang harus berjalan tanpa alas kaki, agar yang lainnya bisa berjalan-jalan dengan mobil mewah? Kenapa beberapa orang hanya dapat hidup selama tiga puluh lima tahun, agar yang lainnya bisa hidup selama tujuh puluh tahun? Kenapa beberapa orang sangat miskin, agar yang lainnya dapat menjadi sangat kaya? Aku berbicara atas perantara anak-anak di seluruh dunia yang tidak memiliki sepotong roti. Aku berbicara atas perantara orang-orang sakit yang tidak memiliki obat-obatan, atas perantara orang-orang yang dilanggar hak hidup dan martabatnya.
— Pesan Fidel Castro kepada Majelis Umum PBB, 1979
Pada 1977, Somalia menyerang Etiopia untuk mengambil alih wilayah Ogaden; meskipun Castro pernah berhubungan dekat dengan Presiden Somalia Siad Barre, ia telah memperingatkannya mengenai dampak dari tindakan semacam itu. Pada akhirnya Kuba malah berpihak kepada pemerintahan Marxis Etiopia yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Ia mengirim pasukan di bawah komando Jenderal Arnaldo Ochoa untuk membantu Etiopia. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Somalia, Mengistu kemudian memerintahkan pasukan Etiopia untuk memberantas Front Pembebasan Rakyat Eritrea, tetapi Castro menolak mendukung tindakan tersebut. Sementara itu, di Amerika Latin, Castro melayangkan dukungan kepada Front Pembebasan Nasional Sandinista dalam melengserkan pemerintahan sayap kanan Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua pada Juli 1979. Namun, para pengkritik Castro merasa bahwa pemerintah telah menghambur-hamburkan nyawa tentara Kuba; Center for a Free Cuba yang anti-Castro mengklaim bahwa sekitar 14.000 pasukan Kuba tewas selama aksi-aksi militer Kuba di luar negeri.[240] Saat AS menegaskan bahwa Kuba tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan negara-negara tersebut, Castro membalasnya dengan mengatakan bahwa Kuba telah diundang ke sana, dan ia juga balik menunjuk kepada campur tangan AS di berbagai negara.
Pada 1979, Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) diadakan di Havana, dan Castro kemudian terpilih menjadi Presiden GNB, sebuah jabatan yang ia emban hingga 1982. Ia tampil di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober 1979 dalam kapasitasnya baik sebagai Presiden GNB maupun Kuba, dan di situ ia memberikan pidato tentang kesenjangan antara yang kaya dan miskin di dunia. Pidatonya disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari para pemimpin dunia, meskipun kedudukannya di GNB rusak setelah Kuba menolak mengutuk campur tangan Soviet di Afganistan. Sementara itu, hubungan Kuba dengan negara-negara Amerika Utara sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Luis Echeverría di Meksiko, Perdana Menteri Pierre Trudeau di Kanada, dan Presiden Jimmy Carter di Amerika Serikat. Carter masih mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Kuba, tetapi pendekatannya lebih hormat, dan Castro pun menyadari hal ini. Castro menganggap Carter sebagai seorang presiden yang tulus dan beritikad baik, alhasil ia membebaskan beberapa tahanan politik dan mengizinkan beberapa orang Kuba di pengasingan mengunjungi kerabat mereka di Kuba, dengan harapan agar Carter mau mencabut embargo dan menghentikan dukungan CIA terhadap para pembangkang militan. Di sisi lain, hubungannya dengan Tiongkok memburuk, karena ia menuduh pemerintahan Deng Xiaoping telah mencederai prinsip-prinsip revolusioner dengan mengadakan hubungan dagang dengan AS dan menyerang Vietnam.
Pemberontakan dan Marxisme: 1947–1950
Aku bergabung dengan rakyat; aku mengambil sebuah senapan di kantor polisi yang hancur akibat kerumunan. Aku menyaksikan revolusi yang terjadi secara spontan... Pengalaman itu membuatku semakin mengaitkan diriku dengan perjuangan demi rakyat. Gagasan Marxis yang baru berkembang di benakku tidak ada hubungannya dengan tindakan kami – ini adalah reaksi spontan sebagai pemuda dengan gagasan Martí, anti-imperialis, anti-kolonialis, dan pro-demokrat.
— Fidel Castro saat sedang membahas peristiwa Bogotazo, 2009[19]
Pada Juni 1947, Castro mendengar kabar mengenai rencana ekspedisi pelengseran junta militer sayap kanan Rafael Trujillo di Republik Dominika.[20] Sebagai Presiden Komite Universitas untuk Demokrasi di Republik Dominika, Castro bergabung dengan ekspedisi tersebut.[21] Pasukannya berjumlah 1.200 orang, kebanyakan adalah orang Kuba dan orang Dominika di pengasingan, dan mereka berencana berlayar dari Kuba pada Juli 1947. Akibat tekanan dari AS, pemerintah Grau berupaya menghentikan ekspedisi tersebut, tetapi Castro dan banyak pengikutnya berhasil lolos dari penangkapan. Sekembalinya di Havana, Castro memimpin demonstrasi mahasiswa yang mengutuk pembunuhan seorang murid SMA oleh petugas keamanan pemerintah. Protes tersebut, yang diiringi dengan tindakan keras yang diambil oleh pemerintah terhadap orang-orang yang dituduh komunis, berujung pada bentrok antara aktivis melawan polisi pada Februari 1948, sehingga Castro mengalami luka berat. Pada masa itu, pidato-pidato publiknya sudah condong ke arah kiri dengan mengutuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Kuba. Sebelum itu, ia sering kali mengkritik korupsi dan imperialisme AS.
Pada April 1948, Castro mendatangi Bogotá, Colombia, dengan sekelompok pelajar Kuba yang disponsori oleh pemerintahan Juan Perón dari Argentina. Di sana, pembunuhan seorang pemimpin sayap kiri yang bernama Jorge Eliécer Gaitán Ayala berujung pada merebaknya kerusuhan dan bentrok antara kelompok Konservatif yang memegang kekuasaan dan didukung oleh tentara melawan kelompok Liberal yang berhaluan kiri.[25] Castro bergabung dengan kelompok Liberal dan ia mencuri persenjataan dari sebuah kantor polisi, tetapi penyelidikan polisi yang diadakan setelahnya menunjukkan bahwa Castro sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan manapun.[25] Sekembalinya di Kuba, Castro menjadi tokoh penting dalam unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga tiket bus.[26] Pada tahun yang sama, ia juga menikahi Mirta Díaz Balart, seorang mahasiswi dari keluarga kaya, dan dari pernikahannya itu ia dapat melihat secara langsung gaya hidup kelompok elit di Kuba. Hubungan tersebut murni atas dasar cinta, meskipun keluarga dari masing-masing pihak sama-sama menentangnya, tetapi pada akhirnya ayah Díaz Balart memberikan mereka sepuluh ribu rolar untuk menjalani bulan madu selama tiga bulan di New York City.[27]
Marxisme mengajarkanku apa itu masyarakat. Aku bagaikan seorang pria yang tertutup matanya di hutan, yang bahkan tidak tahu di mana utara atau selatan. Jika kamu pada akhirnya tidak memahami sejarah perjuangan kelas, atau setidaknya gagasan yang sangat jelas terlihat bahwa masyarakat terbagi menjadi yang kaya dan miskin, dan bahwa beberapa orang menundukkan dan memperalat yang lainnya, [maka] kamu tersesat di hutan, tidak mengetahui apa-apa.
— Fidel Castro mengenai Marxisme, 2009[28]
Pada tahun yang sama, Grau memutuskan untuk tidak lagi ikut pemilu, dan pesta demokrasi tersebut kemudian dimenangkan oleh calon Partido Auténtico yang baru, yaitu Carlos Prío Socarrás.[29] Prío harus menghadapi demonstrasi massal setelah para anggota MSR (yang kini bersekutu dengan polisi) membunuh Justo Fuentes, yang merupakan teman Castro. Alhasil Prío bersedia menumpas geng-geng di Kuba, tetapi ternyata mereka terlalu kuat.[30] Cara pandang politik Castro sendiri semakin bergerak ke arah kiri, dan ia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia menganggap masalah-masalah yang dihadapi oleh Kuba sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kapitalis, atau "kediktatoran borjuis", dan bukan kegagalan akibat politikus yang korup, sehingga ia mulai menganut paham Marxis bahwa perubahan politik yang berarti hanya dapat diwujudkan lewat revolusi proletariat. Selain itu, ia juga aktif dalam kampanye anti-rasisme yang dilancarkan oleh mahasiswa setelah ia mengunjungi kawasan-kawasan termiskin di Havana.[31]
Pada September 1949, Mirta melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Fidelito, sehingga pasangan tersebut pindah ke sebuah apartemen yang lebih besar di Havana.[32] Castro masih tetap aktif di dunia politik dan bahkan bergabung dengan Gerakan 30 September yang terdiri dari kaum komunis dan anggota Partido Ortodoxo. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk melawan geng-geng yang menggunakan kekerasan di universitas; namun, Prío gagal mengendalikan keadaan, dan ia malah menawarkan pekerjaan di kementerian-kementerian negara kepada para anggota senior geng-geng tersebut.[33] Castro secara sukarela menyampaikan pidato atas nama Gerakan 30 September pada tanggal 13 November yang membongkar perjanjian rahasia pemerintah dengan geng-geng. Hal ini menarik perhatian media nasional, tetapi geng-geng tersebut mengamuk dan Castro pun terpaksa bersembunyi, mula-mula di wilayah pedesaan dan kemudian di AS.[34] Sekembalinya di Havana beberapa minggu kemudian, Castro berusaha untuk tidak menarik perhatian orang, dan ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya, hingga akhirnya ia lulus dengan gelar Doktor Hukum pada September 1950.[35]
Invasi Teluk Babi dan "Kuba Sosialis": 1961–1962
[Tidak ada] keraguan mengenai siapa pemenangnya. Posisi Kuba di mata dunia melejit, dan citra Fidel sebagai pemimpin yang sangat dikagumi dan dihormati oleh rakyat jelata Kuba pun menguat. Ketenarannya lebih tinggi daripada sebelum-sebelumnya. Ia sendiri berpikir bahwa ia telah mewujudkan apa yang hanya dapat diangan-angankan oleh generasi-generasi Kuba sebelumnya: ia telah menantang Amerika Serikat dan menang.
— Peter Bourne, biografer Castro, 1986
Pada Januari 1961, Castro memerintahkan Kedutaan Besar AS di Havana untuk mengurangi jumlah anggota stafnya yang mencapai 300 orang, karena ia menduga bahwa banyak dari antara mereka yang menjadi mata-mata. AS menanggapinya dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kuba dan meningkatkan pendanaan yang digelontorkan oleh CIA kepada para pembangkang di pengasingan; militan-militan tersebut juga mulai menyerang kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dan meledakkan pabrik-pabrik, toko-toko, dan tempat pengolahan gula.[162] Baik Eisenhower maupun penerusnya, John F. Kennedy, mendukung rencana CIA yang ingin membantu milisi pembangkang "Barisan Revolusioner Demokratik" dalam upaya mereka untuk melengserkan Castro; rencana tersebut berujung pada Invasi Teluk Babi pada April 1961. Pada 15 April, B-26 yang disediakan oleh CIA meledakkan 3 pangkalan udara militer Kuba; AS mengumumkan bahwa para pelakunya adalah pilot angkatan udara Kuba yang membelot, tetapi Castro membongkar kebohongan klaim tersebut.[163] Castro lalu memerintahkan penangkapan 20.000 hingga 100.000 orang yang dituduh kontra-revolusi,[164] dan di depan umum ia mengumandangkan, "Yang tidak dapat diampuni oleh kaum imperialis adalah bagaimana kita telah mengobarkan revolusi Sosialis di pelupuk mata mereka sendiri", dan ini adalah pertama kalinya ia menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan sosialis.[165]
CIA dan Barisan Revolusioner Demokrat telah menempatkan Brigada Asalto 2506 yang berjumlah 1.400 tentara di Nikaragua. Pada malam tanggal 16-17 April, Brigada 2506 mendarat di Teluk Babi, Kuba, dan kemudian terjadi baku tembak antara mereka dengan milisi revolusioner setempat. Castro memerintahkan Kapten José Ramón Fernández untuk melancarkan serangan balasan, tetapi ia kemudian memimpin pasukan tersebut secara langsung. Setelah Castro berhasil mengebom kapal-kapal milik para penyerang dan memperoleh bala bantuan, Brigada tersebut menyerah pada 20 April.[166] Ia memerintahkan agar 1189 pemberontak yang ditangkap diinterogasi oleh sebuah panel jurnalis dengan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ia lalu memimpin proses interogasi tersebut secara langsung pada 25 April. 14 orang dari antara mereka diadili atas kejahatan yang telah dilakukan sebelum revolusi, sementara yang lainnya dipulangkan ke AS untuk ditukar dengan obat-obatan dan makanan senilai U.S. $25 juta.[167] Kemenangan Castro bergaung di dunia, khususnya di Amerika Latin, tetapi juga meningkatkan perlawanan internal, terutama dari golongan menengah Kuba yang ditahan menjelang terjadinya invasi. Meskipun kebanyakan dibebaskan dalam waktu beberapa hari, beberapa di antaranya melarikan diri ke AS dan menetap di Florida.[168]
Untuk mengukuhkan "Kuba Sosialis", Castro menggabungkan MR-26-7, PSP, dan Direktorat Revolusioner menjadi sebuah partai pemerintahan yang berlandaskan pada asas Leninis yang disebut sentralisme demokrat. Partai ini disebut "Organisasi Revolusioner Terintegrasi" (Organizaciones Revolucionarias Integradas – ORI), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kesatuan Revolusi Sosialis Kuba pada 1962.[169] Meskipun Uni Soviet masih meragukan pandangan sosialisme Castro,[170] hubungannya dengan Soviet semakin erat. Castro mengirim Fidelito ke Moskwa untuk bersekolah,[171] para teknisi Soviet datang ke Kuba,[171] dan Castro juga dianugerahi Penghargaan Perdamaian Lenin.[172] Pada Desember 1961, Castro mengakui bahwa ia sudah menjadi seorang Marxis–Leninis selama bertahun-tahun, dan dalam Deklarasi Havana Kedua-nya, ia menyerukan agar Amerika Latin bangkit dan mengobarkan revolusi. Akibatnya, AS meminta Organisasi Negara-Negara Amerika untuk mengeluarkan Kuba; Soviet secara pribadi menegur Castro karena ia dianggap ceroboh, meskipun ia mendapatkan pujian dari Tiongkok.[174] Walaupun Castro cenderung bersimpati secara ideologis kepada Tiongkok, selama terjadinya perpecahan Soviet-Tiongkok, Kuba bersekutu dengan Soviet yang lebih kaya, terutama mengingat bahwa Soviet menawarkan bantuan ekonomi dan militer.[175]
ORI mulai merombak Kuba berdasarkan contoh Uni Soviet; mereka menindas lawan-lawan politik dan orang-orang yang dianggap menyimpang secara sosial, seperti para pelacur dan kaum homoseksual; Castro menganggap aktivitas seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku borjuis.[176] Pria gay dipaksa masuk ke kamp-kamp pertanian yang disebut Satuan Militer untuk Bantuan Produksi (Unidades Militares de Ayuda a la Producción – UMAP); namun, banyak kaum intelektual revolusioner yang mengutuk tindakan ini, sehingga kamp-kamp tersebut ditutup pada 1967, meskipun pria gay masih tetap dipenjara. Pada 1962, ekonomi Kuba mengalami kemunduran akibat manajemen ekonomi yang buruk dan produktivitas yang rendah, yang semakin diperparah oleh embargo dagang AS. Kekurangan pangan memicu protes di Cárdenas.[178] Laporan keamanan menunjukkan bahwa banyak orang Kuba yang mengaitkan keadaan yang sulit tersebut dengan "Komunis Lama" dari PSP, sementara Castro merasa bahwa beberapa tokoh Komunis Lama – yakni Aníbal Escalante dan Blas Roca – terlalu setia kepada Moskwa. Pada Maret 1962, Castro memberhentikan tokoh-tokoh penting "Komunis Lama" dari jabatan mereka dan mencap mereka "sektarian".[179] Dalam hal hubungan pribadi, Castro menjadi semakin sendiri, dan hubungannya dengan Guevara juga retak karena Guevara menjadi semakin anti-Soviet dan pro-Tiongkok.[180]
Krisis Misil Kuba dan seruan revolusi global: 1962–1968
Khrushchev ingin memasang misil-misil nuklir R-12 di Kuba untuk menyeimbangkan kekuatan NATO.[181] Walau awalnya sempat ragu, Castro akhirnya setuju, karena ia yakin bahwa tindakan tersebut akan menjaga keamanan Kuba dan juga memajukan perjuangan sosialisme.[182] Rencana ini diwujudkan secara rahasia, dan hanya beberapa orang di Kuba yang tahu akan hal ini, yaitu Castro bersaudara, Guevara, Dorticós, dan kepala keamanan Ramiro Valdés.[183] Setelah rencana tersebut terbongkar akibat pemantauan yang dilakukan oleh AS dari udara, pada bulan Oktober AS mengarantina seluruh pulau Kuba untuk melakukan pencarian terhadap kapal-kapal yang menuju ke Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba. AS menganggap misil-misil ini sebagai persenjataan untuk melakukan serangan, sementara Castro bersikeras bahwa tujuan penempatan misil-misil tersebut hanyalah untuk pertahanan.[184] Castro meminta Khrushchev untuk menggertak AS dengan serangan nuklir apabila Kuba diserang, tetapi Khrushchev berniat untuk menghindari perang nuklir.[185] Castro sendiri tidak diikutsertakan dalam proses perundingan, dan akhirnya Khrushchev bersedia menarik misil-misil tersebut untuk memperoleh jaminan bahwa AS tidak akan menyerang Kuba dan bahwa AS juga akan mengeluarkan misil nuklir mereka dari Turki dan Italia.[186] Castro merasa dikhianati oleh Khrushchev, sehingga ia mengamuk dan lalu jatuh sakit.[187] Ia kemudian menuntut agar AS mengakhiri embargonya, menarik diri dari Pangkatan Laut Teluk Guantanamo, tidak lagi mendukung para pembangkang, dan berhenti melanggar kawasan perairan dan udara Kuba. Ia menyerahkan tuntutan tersebut kepada Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa U Thant, tetapi AS menghiraukannya; alhasil Castro menolak mengizinkan regu inspeksi PBB masuk ke Kuba.[188]
Pada Mei 1963, Castro mengunjungi Uni Soviet atas undangan pribadi dari Khrushchev; selama kunjungan tersebut, mendatangi 14 kota, menyampaikan pidato di Lapangan Merah, dan dianugerahi Ordo Lenin dan gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Moskwa. Castro memperoleh gagasan-gagasan baru dari kunjungannya. Ia terilhami dari surat kabar Soviet Pravda, sehingga ia menggabungkan Hoy dan Revolución menjadi sebuah surat kabar harian baru yang bernama Granma. Ia juga memberikan anggaran yang besar kepada sektor olahraga Kuba, dan tindakan ini berhasil meningkatkan reputasi olahraga negara tersebut di kancah internasional . Sementara itu, untuk semakin mengukuhkan kekuasaannya, pada 1963 pemerintah Kuba melarang sekte-sekte Protestan, dan Castro sendiri mencap mereka sebagai "alat imperialis kontra-revolusi"; banyak pengkotbah yang juga dijebloskan ke penjara akibat hubungan dengan Amerika Serikat. Tindakan-tindakan juga diambil untuk memaksa para pemuda yang dianggap "menganggur" dan "nakal" untuk bekerja, khususnya dengan memberlakukan wajib militer, sementara pada bulan September, pemerintah untuk sementara waktu mengizinkan orang-orang yang bukan laki-laki berumur 15-26 tahun untuk keluar dari Kuba, sehingga ribuan pengkritik pemerintah pun hengkang dari negara tersebut, kebanyakan orang-orang yang berasal dari kelas menengah atau atas. Pada 1963, ibu kandung Castro meninggal. Ini adalah terakhir kalinya kehidupan pribadi Castro dikabarkan oleh pers Kuba. Pada Januari 1964, Castro kembali ke Moskwa untuk menandatangani perjanjian perdagangan gula yang baru, selain juga membahas dampak dari pembunuhan John F. Kennedy; Castro merasa sangat perihatin dengan peristiwa pembunuhan tersebut, karena ia yakin bahwa dalangnya adalah kelompok kanan jauh, tetapi orang Kuba-lah yang akan disalahkan. Pada Oktober 1965, Organisasi Revolusioner Terintegrasi secara resmi berganti nama menjadi "Partai Komunis Kuba".
Ancaman terbesar dari Kuba di bawah Castro adalah bagaimana Kuba dapat menjadi contoh bagi negara-negara Amerika Latin lainnya yang dilanda kemiskinan, korupsi, feodalisme, dan eksploitasi plutokratik... pengaruhnya di Amerika Latin akan menjadi luar biasa besar dan juga tak terhindarkan lagi apabila ia, dengan bantuan dari Uni Soviet, dapat mendirikan sebuah utopia komunis di Kuba.
— Walter Lippmann, Newsweek, 27 April 1964[199]
Meskipun membuat waswas Soviet, Castro masih meneruskan seruan untuk mengobarkan revolusi global, dan ia pun mendanai kelompok-kelompok militan kiri dan gerakan-gerakan kemerdekaan. Kebijakan luar negeri Kuba sangat anti-imperialis dan menyatakan bahwa setiap bangsa harus mengendalikan sumber daya alam mereka sendiri. Castro mendukung "proyek Andes" yang dilancarkan oleh Che Guevara, yaitu sebuah rencana untuk membentuk pergerakan gerilyawan di dataran tinggi Bolivia, Peru, dan Argentina, walaupun rencana tersebut tidak berhasil; Castro juga mengizinkan kelompok-kelompok revolusioner dari berbagai belahan dunia (dari gerakan Viet Cong sampai Black Panther Party) berlatih di wilayah Kuba. Ia menganggap Afrika sebagai wilayah dengan potensi revolusi yang besar, alhasil ia mengirim pasukan dan tenaga medis untuk membantu rezim sosialis Ahmed Ben Bella di Aljazair selama terjadinya Perang Pasir. Ia juga bersekutu dengan pemerintahan sosialis pimpinan Alphonse Massamba-Débat di Kongo-Brazzaville, dan pada 1965 Castro mengizinkan Guevara berangkat ke Kongo-Kinshasa untuk melatih kaum revolusioner melawan pemerintahan yang didukung oleh Barat. Castro sendiri sangat terpukul saat mendengar kabar bahwa Guevara telah dibunuh oleh militer Bolivia yang didukung oleh CIA pada Oktober 1967, dan ia merasa bahwa penyebabnya adalah sifat Che yang tidak memedulikan keselamatan dirinya. Pada 1966, Castro mengadakan Konferensi Tiga Benua di Havana, sehingga semakin memperkuat martabatnya di kancah dunia. Berkat konferensi tersebut, Castro dapat mendirikan Organisasi Solidaritas Amerika Latin (OLAS), yang memiliki semboyan "Tugas revolusi adalah untuk mengobarkan revolusi", yang menunjukkan bagaimana Havana telah menjadi pemimpin gerakan revolusioner di Amerika Latin.
Akibat menguatnya peran Castro di pentas dunia, hubungan Kuba dengan Uni Soviet (yang sudah berganti pemimpin menjadi Leonid Brezhnev) memburuk. Dengan maksud untuk menegaskan kemerdekaan Kuba, Castro menolak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata-senjata Nuklir dan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan upaya Soviet-AS untuk mendominasi Dunia Ketiga. Ia mulai melenceng dari doktrin Marxis Soviet dan menyatakan bahwa masyarakat Kuba dapat langsung berubah menjadi komunisme murni tanpa perlu melalui tahapan-tahapan sosialisme. Sementara itu, seorang loyalis Soviet yang bernama Aníbal Escalante mulai membentuk sebuah jaringan perlawanan terhadap Castro, sehingga pada Januari 1968 ia dan para pendukungnya ditangkap atas tuduhan membocorkan rahasia negara kepada Moskwa. Namun, Castro mengakui kebergantungan Kuba kepada Soviet secara ekonomi, alhasil ia tunduk kepada tekanan dari Brezhnev, dan pada Agustus 1968 ia mengecam para pemimpin Kebangkitan Praha dan memuji invasi Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.[210] Ia terilhami dari kebijakan Lompatan Jauh ke Depan di Tiongkok, sehingga pada 1968 Castro mengumandangkan "Serangan Revolusioner Besar" yang menutup semua toko dan usaha milik swasta yang masih tersisa dan mengutuk para pemiliknya sebagai kapitalis kontra-revolusi. Akibat kekurangan barang konsumen, produktivitas juga ikut menurun, karena banyak warga yang sama sekali tidak termotivasi untuk bekerja keras. Hal ini semakin diperparah oleh anggapan bahwa telah muncul kalangan elit revolusioner yang memperoleh keuntungan lebih, seperti perumahan yang lebih baik, transportasi pribadi, pelayan, dan kemampuan untuk membeli barang mewah dari luar negeri.
Periode Istimewa: 1990–2000
Setelah berakhirnya perdagangan dengan blok Soviet, Castro secara terbuka mengumandangkan bahwa Kuba memasuki "Periode Istimewa pada Masa Damai". Jatah minyak bumi berkurang drastis, sepeda-sepeda Tiongkok diimpor untuk menggantikan mobil-mobil, dan pabrik-pabrik yang dianggap kurang penting ditutup. Kerbau mulai menggantikan traktor, kayu bakar mulai digunakan untuk memasak, dan pemadaman listrik dapat berlangsung selama 16 jam dalam sehari. Castro mengakui bahwa Kuba sedang menghadapi keadaan terburuk dan mereka mungkin harus bergantung pada pertanian subsisten. Ekonomi Kuba mengalami kemunduran sebesar 40% dalam rentang waktu dua tahun hingga 1992, dan persediaan pangan juga menipis, malagizi merebak, dan terjadi kekurangan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Castro berharap agar Marxisme-Leninisme ditegakkan kembali di Uni Soviet, tetapi ia tidak mendukung percobaan kudeta di negara tersebut pada 1991. Setelah Gorbachev berhasil mempertahankan kekuasaannya, hubungan Kuba dengan Soviet semakin memburuk dan pasukan Soviet ditarik dari Kuba pada September 1991. Pada bulan Desember, Uni Soviet secara resmi dibubarkan setelah Boris Yeltsin menutup Partai Komunis Uni Soviet dan memperkenalkan sistem demokrasi multipartai dengan ekonomi kapitalis. Yeltsin tidak menyukai Castro dan malah menjalin hubungan dengan Yayasan Nasional Kuba Amerika yang berbasis di Miami. Alhasil Castro berupaya memperbaiki hubungannya dengan negara-negara kapitalis. Ia menyambut para politikus dan investor Barat yang datang ke Kuba, berteman dengan Manuel Fraga dari Spanyol, dan bahkan ia sangat tertarik dengan kebijakan-kebijakan Margaret Thatcher di Britania Raya, karena ia yakin bahwa sosialisme Kuba bisa belajar dari kebijakan penurunan pajak dan penggalakkan inisiatif individual yang diberlakukan oleh Thatcher. Ia tidak lagi mendukung kelompok-kelompok militan asing, ia tidak memuji FARC saat mengunjungi Kolombia pada 1994, dan ia juga menyerukan perdamaian antara pasukan Zapatista dan pemerintah Meksiko pada 1995. Secara terbuka, ia menampilkan dirinya sebagai seorang moderat di pentas dunia.
Pada 1991, Havana menjadi tuan rumah Pan American Games, sehingga Kuba harus membangun sebuah stadion dan fasilitas akomodasi untuk para atlet. Castro mengakui bahwa tindakan tersebut merupakan suatu kesalahan, tetapi Kuba dianggap sukses sebagai tuan rumah. Kerumunan terus menerus meneriakkan "Fidel! Fidel!" di depan para jurnalis asing, sementara Kuba menjadi negara Amerika Latin pertama yang berhasil mengalahkan perolehan medali emas AS. Dukungan untuk Castro masih kuat, dan meskipun terkadang diadakan ujuk rasa anti-pemerintah, kelompok oposisi Kuba menolak seruan pemberontakan dari komunitas pembangkang di pengasingan. Pada Agustus 1994 di kota Havana, terjadi demonstrasi antri-Castro terbesar dalam sejarah Kuba. Terdapat 200 hingga 300 pemuda yang melempari batu ke arah polisi dan menuntut agar mereka diizinkan pindah ke Miami. Kerumunan pro-Castro yang jumlahnya lebih besar datang untuk menandingi mereka, dan Castro juga ikut dengan kerumunan tersebut; ia lalu memberitahukan kepada media bahwa para pemuda ini adalah orang-orang antisosial yang diperdaya oleh AS. Unjuk rasa ini pada akhirnya dibubarkan tanpa adanya korban luka-luka yang tercatat secara resmi. Pemerintah merasa khawatir bahwa kelompok pembangkang akan melancarkan serangan dari luar negeri, sehingga mereka menerapkan strategi pertahanan "Perang Semesta"; kampanye gerilya massal juga disiapkan, dan para pengangguran diberikan pekerjaan membangun bunker-bunker dan terowongan-terowongan di berbagai wilayah Kuba.
Kita tidak memiliki segelintir pun [unsur] kapitalisme dan neo-liberalisme. Kita menghadapi sebuah dunia yang dikuasai oleh neo-liberalisme dan kapitalisme. Bukan berarti kita akan menyerah. Artinya kita harus menyesuaikan diri dengan kenyataan di dunia tersebut. Itulah yang kita lakukan, dengan ketenangan yang besar, tanpa meninggalkan cita-cita kita, tujuan kita. Aku meminta kepadamu untuk percaya dengan apa yang pemerintah dan partai lakukan. Mereka mempertahankan, sampai atom terakhir, gagasan, asas, dan tujuan sosialis.
— Fidel Castro menjelaskan reformasi pada Periode Istimewa
Castro meyakini bahwa reformasi diperlukan jika sosialisme Kuba ingin tetap bertahan di dunia yang didominasi oleh pasar bebas kapitalis pada masa itu. Pada Oktober 1991, Kongres Partai Komunis Kuba Keempat diadakan di Santiago, dan kongres tersebut menghasilkan sejumlah perubahan besar terhadap pemerintahan. Castro akan mengundurkan diri dari jabatan kepala pemerintahan dan akan digantikan oleh Carlos Lage yang jauh lebih muda, meskipun Castro masih akan tetap menjadi kepala Partai Komunis dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Banyak anggota pemerintahan yang sudah tua yang akan dipensiunkan dan digantikan oleh orang-orang yang lebih muda. Sejumlah perubahan ekonomi diusulkan, dan kemudian akan dikonsultasikan kepada rakyat lewat referendum. Pasar petani bebas dan usaha swasta berskala kecil akan dilegalkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara dolar AS juga dijadikan alat bayar sah. Pembatasan terhadap emigrasi diringankan, sehingga semakin banyak orang Kuba yang pindah ke Amerika Serikat. Proses demokratisasi akan terus didorong dengan mengadakan pemilihan anggota Majelis Nasional secara langsung dan bukan lewat majelis kota praja atau provinsial. Castro mempersilakan perdebatan antara pendukung dan penentang reformasi, tetapi seiring berjalannya waktu ia menjadi semakin bersimpati dengan kelompok penentang.
Pemerintahan Castro mendiversifikasi ekonominya dengan mengembangkan sektor bioteknologi dan pariwisata, dan sektor pariwisata kemudian melampaui industri gula sebagai sumber pemasukan utama pada 1995. Kedatangan ribuan wisatawan Meksiko dan Spanyol berujung pada peningkatan jumlah orang Kuba yang masuk ke dunia pelacuran; meskipun secara resmi ilegal, Castro berusaha menghindari penindakan pelacuran, karena khawatir akan terjadi kekisruhan politik. Kesulitan ekonomi membuat banyak orang Kuba menjadi taat beragama, baik itu agama Katolik maupun Santería. Meskipun Castro sudah sejak lama memiliki keyakinan bahwa agama adalah suatu hal yang terbelakang, pendekatan Castro terhadap institusi-institusi agama tidak lagi sekeras sebelumnya, dan orang-orang beragama untuk pertama kalinya diperbolehkan bergabung dengan Partai Komunis. Walaupun ia memandang Gereja Katolik Roma sebagai sebuah lembaga prokapitalis dan reaksioner, Castro menyambut kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Kuba pada Januari 1998; hal ini memperkuat posisi Gereja Kuba dan pemerintahan Castro.
Pada awal era 1990-an, Castro mencanangkan gerakan lingkungan hidup, berkampanye melawan pemanasan global dan penghambur-hamburan sumber daya alam, dan menuduh AS sebagai penghasil polusi utama di dunia. Pada 1994, sebuah kementerian yang berfokus pada lingkungan hidup didirikan, dan hukum-hukum baru dikeluarkan pada 1997 yang mendorong kesadaran masalah-masalah lingkungan di seluruh Kuba dan menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pada 2006, Kuba menjadi satu-satunya negara di dunia yang memenuhi definisi pembangunan berkelanjutan menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan jejak ekologi yang kurang dari 1,8 hektar per kapita dan Indeks Pengembangan Manusia sebesar lebih dari 0,8.[288] Castro juga menjadi pendukung gerakan anti-globalisasi, dan ia mengkritik hegemoni AS dan kekuasaan perusahaan multinasional di dunia. Pada masa ini, Castro juga masih sangat anti-apartheid, dan pada perayaan 26 Juli 1991, aktivis politik Afrika Selatan Nelson Mandela (yang baru saja dikeluarkan dari penjara) naik ke atas panggung bersamanya. Mandela memuji keterlibatan Kuba dalam upaya melawan Afrika Selatan di Angola dan secara pribadi berterima kasih kepada Castro. Ia kemudian menghadiri pelantikan Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Pada 2001, ia menghadiri Konferensi Melawan Rasisme di Afrika Selatan, dan dalam ajang tersebut ia memberikan ceramah mengenai penyebaran stereotipe ras di dunia melalui film-film buatan AS.
Demonstrasi Amerika Serikat
8.4Luar biasa47 ulasan
hotelmix.id menggunakan cookie yang benar-benar diperlukan agar dapat berfungsi. Kami tidak mengumpulkan cookie analitis dan pemasaran.OKE
Pemerintahan sementara: 1959
Atas perintah dari Castro, pengacara Manuel Urrutia Lleó yang beraliran moderat dinyatakan sebagai presiden sementara, tetapi Castro mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya salah, bahwa Urrutia telah dipilih melalui "pemilihan umum". Kebanyakan anggota kabinet Urrutia merupakan anggota MR-26-7.[116] Saat memasuki kota Havana, Castro menyatakan dirinya sebagai Perwakilan Angkatan Bersenjata Pemberontak di bawah Kepresidenan, dan lalu ia menetap dan berkantor di Havana Hilton Hotel.[117] Castro sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Urrutia, yang merupakan sebuah pemerintahan yang berkuasa dengan mengeluarkan dekret-dekret. Ia berupaya memastikan agar pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi dan buta huruf, serta kebijakan yang mengeluarkan para pendukung Batista dari jabatan-jabatan pemerintahan, termasuk pemecatan anggota Kongres dan pelarangan menduduki jabatan untuk semua orang yang "terpilih" dalam pemilu curang tahun 1954 dan 1958. Ia kemudian mendorong Urrutia untuk mengeluarkan larangan sementara terhadap partai-partai politik, walaupun ia berulangkali menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang dapat diikuti oleh lebih dari satu partai.[118] Meskipun ia menyangkal tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis di hadapan media, ia diam-diam bertemu dengan anggota-anggota PSP untuk membahas rencana pembentukan sebuah negara sosialis.[119]
Kami tidak menghukum mati orang-orang tak berdosa atau lawan politik. Kami menghukum mati para pembunuh dan mereka memang pantas menerimanya.
— Tanggapan Castro terhadap kritikan yang terkait dengan pengeksekusian massal, 1959[120]
Pemerintahan Batista telah membunuh ribuan orang Kuba saat mereka berupaya memadamkan revolusi; Castro dan media-media besar memperkirakan jumlah korban tewasnya mencapai 20.000 orang, tetapi daftar korban yang diterbitkan tak lama seusai revolusi hanya berisi 898 nama, dan lebih dari setengahnya adalah kombatan perang. Perkiraan-perkiraan yang lebih terkini mengeluarkan angka yang berkisar antara 1000 hingga 4000 korban jiwa. Sebagai tanggapan terhadap seruan agar orang-orang yang bertanggung jawab diseret ke meja hijau, Castro membantu mendirikan beberapa pengadilan, yang berujung pada penghukuman mati ratusan orang. Meskipun kebijakan ini populer di dalam negeri, para kritikus (khususnya pers AS) menyatakan bahwa proses pengadilannya sering kali tidak dilaksanakan secara adil. Castro menanggapinya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan revolusioner tidak didasarkan pada aturan-aturan hukum, tetapi pada keyakinan moral".[124] Sementara itu, keberhasilan Castro disambut dengan baik oleh banyak orang di Amerika Latin, dan ia lalu berkunjung ke Venezuela untuk bertemu dengan presiden terpilih Rómulo Betancourt, tetapi ia tidak berhasil memperoleh pinjaman dan juga gagal membuat perjanjian pembelian minyak yang baru.[125] Sekembalinya di tanah air, terjadi adu pendapat antara Castro dengan anggota pemerintahan senior. Ia merasa murka setelah mengetahui bahwa pemerintah telah menyebabkan ribuan orang menganggur akibat penutupan kasino dan rumah bordil. Perdana Menteri José Miró Cardona lalu mengundurkan diri, mengasingkan diri di AS, dan bergabung dengan pergerakan anti-Castro.[126]